SAFETY IN THE AIR STARTS ON THE GROUND

Rabu, 09 Juni 2010

Melayang Tinggi Memupuk Persahabatan Sejati

BOGOR – Sejak zaman purba, manusia sudah punya cita-cita untuk terbang bagai burung. Mereka berusaha melayangkan cara efektif untuk mewujudkan mimpi-mimpi tadi. Ketika usaha membuahkan hasil, mereka pun berlomba menunjukkan superioritasnya di angkasa. Dari sekian banyak usaha itu, satu di antaranya menghasilkan cara terbang tradisional. Sederhana dan tak banyak dijejali teknologi yang rumit. Hanya bermodalkan parasut, melayang tanpa mesin berhasil menggelitik naluri bertualang tiap manusia. Cara ini ngetop dikenal sebagai paralayang.

Yosafat Erie Setianto

Persabahatan yang terjalin erat, membuat tiap penerbang merasa selalu menjadi satu komunitas yang padu. Kekompakan di antara mereka terlihat jelas, tak terkecuali saat berdoa.


”Siapa sih yang nggak kepengen terbang. Dari zaman purbakala, terbang adalah impian setiap orang. Waktu dia melihat (yang sudah bisa terbang), keinginan itu jadi meletup-letup. Hatinya merasa tertantang untuk ikut mencoba,” ungkap Zainul Arifin (39) salah seorang pehobi paralayang saat ditanya awal mula bersentuhan dengan dunia dirgantara. Ia pun mengingatkan pada cerita Ikarus, legenda usaha manusia terbang..

Agar bisa terbang, sambung Zainul, manusia memakai cara masing-masing. Ada yang terbang pakai mesin sarat teknologi, ada pula yang hanya menggunakan beberapa alat bantu saja tanpa embel-embel teknologi yang canggih. Yang pasti, semua itu menghasilkan sensasi tersendiri.

Menurut Zainul, paralayang lebih menuntut keandalan skill tiap orang untuk bisa mewujudkan keinginan terbang tadi. ”Hobi ini amat menarik saya karena kita tetap bisa terbang tanpa harus berbekal power (baca: mesin). Teknologi yang dikembangkan sederhana saja kan. Di sini, (lebih dituntut) skill dan feeling kita yang bicara banyak. Buat saya itu semua jadi tantangan dan mengasyikkan sekali,” papar lelaki berkacamata ini.

Sambil tersenyum ia pun mengaku jenuh pada dunia terbang yang dijejali dengan seabrek teknologi canggih. ”Saya sudah dua belas tahun terbang dengan pesawat. Teknologi yang dibawa pesawat sekelas 747, membuat kita manja. Serba rutin dan lama-lama jadi jenuh,” tambah Zainul yang sudah mengantungi 7.500 jam terbang dengan pesawat komersial.


Persahabatan Sejati

Bila Zainul jatuh cinta pada paralayang karena ingin mencari tantangan lain dari angkasa, Dede Supratman (17) malah punya cerita lain. ”Saya suka ini karena dulu sering ikut-ikutan latihan bareng kakak yang jadi atlet nasional. Saya pikir asyik juga nih, bisa terbang seperti burung. Apalagi paralayang nggak nuntut fisik yang betul-betul kuat seperti kita naik gunung.”

Dari hanya sekadar ikut-kutan, Dede justru teng-gelam dalam dunia paralayang. Ia pun rajin berlatih terbang di kawasan Puncak. Alhasil, kerja kerasnya itu berbuah manis. Nama Dede kini berhasil menembus persaingan panggung kompetisi olahraga dirgantara ini. ”Waktu kejuaraan di Puncak (beberapa waktu lalu), saya juara satu untuk perorangan dan nomor dua dalam beregu.”

Sebagai atlet yang mewakili DKI Jakarta, potensi Dede telah memikat para instruktur. Cuma repotnya, kata Dede, soal pembagian antara waktu latihan dengan sekolah. Kadang-kadang, salah satu urusan itu harus ”rela” dikorbankan.

Bagi Johan Luan (44), paralayang bukan saja memberi pengalaman udara yang mengasyikkan tetapi juga membekali diri tentang arti sebuah persahabatan. Komunitas paralayang terkenal kental sekali dalam keakraban antarpenerbangnya. Tak ada batas sekat identitas, umur atau tetek bengek perbedaan lainnya di situ. Semua lebur jadi satu. Wajar bila benih itu tumbuh subur menjadi sebuah pohon persahabatan sejati, yang semuanya dipupuk dari kesamaan hobi dan mimpi melayang di awang-awang.

”Meski kadang-kadang kita harus ‘bermusuhan’ mewakili daerah masing-masing dalam sebuah kompetisi, tapi kalau waktu senggang kita selalu terbang bersama-sama. Di antara kita saling mengingatkan sebelum seorang penerbang terbang dari gunung,” ujar Johan dengan mantap.

Soal itu, lulusan Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) ini amat merasakannya. ”Ada waktu libur sedikit, pasti teman-teman yang lain sudah ribut mengajak terbang. Sebelum terbang, kita biasanya berangkat bareng-bareng. Ya, kontak itu tak pernah putus dan lebur dalam sebuah komunitas.”


Tanpa Syarat Khusus

”Belajar paralayang ini termasuk mudah. Dalam waktu yang singkat orang sudah bisa terbang sendiri,” tutur Gendon Subandon, salah seorang tokoh paralayang Indonesia. Tak ada syarat khusus bila seseorang ingin belajar. Yang penting sehat jasmani dan rohani serta punya berat minimal empat puluh lima kilogram. ”Berat minimal itu hanya untuk mengikuti ukuran payung yang paling rendah. Anak-anak sebetulnya bisa terbang sendiri tapi sayangnya belum ada parasut khusus anak-anak yang masuk ke sini,” ujar Gendon.

Soal usia, Gendon menambahkan, ”Untuk belajar paralayang, tak ada ketentuan yang menyebutkan batasan usia. Hanya saja saat orang sudah melewati tujuh belas tahun, dianggap faktor emosinya sudah matang. Itu saja.”

Saat ini, ada beberapa klub yang menawarkan paket-paket pelatihan singkat terbang bagai elang ini. Dalam delapan hari, para pemula hobi ini dijamin sudah bisa terbang sendiri. ”Asalkan selama itu, penerbang siswa ini mau belajar secara terus- menerus. Tidak boleh bolos.” Kata Gendon, kontinuitas itu sangat penting. Mood siswa yang sedang tinggi dapat berpengaruh pada perkembangan skill di masa depan. ”Bila tak bisa ikut (belajar) selama delapan hari, tiap akhir pekan penerbang siswa ini harus rutin berlatih.”

Selama pendidikan dasar, seorang penerbang anyar akan dibekali beragam teknik melayang dengan paralayang. ”Pada tahapan pemula, seorang pemula harus mampu melakukan lepas landas.” Ada dua teknik lepas landas yang dikenal dalam paralayang. Pertama, alpine launch atau lompat lari. ”Cara ini dilakukan jika kecepatan angin kecil, ya kira-kira kurang dari 8 mph atau bahkan ketika angin nol,” ucap Gendon sambil memperagakan teknik itu. Biasanya, lompat lari digunakan di negara-negara Alpin (di Eropa) atau lokasi peluncuran yang landai tentu dengan angin relatif kecil. ”Teknik ini bisa saja dilakukan ketika angin kencang, tapi butuh teman untuk memegang pilot saat parasut bergerak ke atas.”

Cara kedua, reverse launch atau lompat balik. Lompat balik dipakai saat angin berhembus kencang (sekitar 8 sampai 15 mph). Cara ini juga diterapkan pada lereng yang terlalu curam untuk digunakan berlari langsung. Gambarannya, posisi pilot akan membelakangi angin yang berembus. Sebelum meluncur, parasut terlebih dahulu dikembangkan. Dalam hitungan detik, pilot akan memeriksa apakah sel-selnya telah terisi angin dengan sempurna, tali-tali parasut dan lainnya. ”Sedikit sulit namun lebih gampang untuk memeriksa sekaligus mengontrol parasut yang mengembang sebelum kita memutuskan untuk melayang. Lompat balik bisa dilakukan sendiri, tapi jika angin terlalu kencang berembus, ya tetap butuh bantuan teman untuk memegang pilot,” tambah Gendon yang saat ini tercatat sebagai ketua bidang paralayang dalam Persatuan Olahraga Dirgantara Layang Gantung Indonesia, Federasi Aerosport Indonesia (FASI).

Rincian Payung

Bila teknik lepas landas telah dikuasai, pelajaran berikut yang harus ditekuni adalah penguasaan manuver. Manuver ini penting agar kita bisa menikmati penerbangan dengan parasut. Ada beberapa manuver yang dikenal, seperti figure of eight, putaran 90 derajat, putaran 360 derajat, spiral dive (putaran menukik), big ears dan Bee line stall. ”Termasuk, si siswa tadi harus bisa menguasai teknik bagaimana cara mengaktifkan teknik naik atau melayang, menurunkan ketinggian secara cepat, mengatasi kondisi angin kencang dan lainnya.”

Siswa juga dikenalkan pada seluk-beluk parasut, termasuk detail-detail yang ada. Kata Gendon, sebuah parasut paralayang terdiri dari dua permukaan paralel yang kuat dan saling dihubungkan dengan lembaran-lembaran vertikal. Bagian ini disebut ribs.

Pada ribs ada lubang yang disebut crossport. Fungsinya, penyeimbang tekanan dan memudahkan parasut mengembang. Ribs membagi tubuh parasut menjadi beberapa sel yang ditandai dengan dua tali yang menjulur di masing-masing sisinya. ”Setiap sel punya anak yang jumlahnya bisa satu, dua, tiga atau lebih, tergantung dari jenis parasut.”

Sisi depan yang merupakan pintu sel ada leading edge. Sisi belakangnya disebut trailing edge. Pada permukaan bawah parasut atau intrados terdapat tali-tali yang menjulur ke bawah. Gabungan dari tali-tali itu disebut riser. Dan riser inilah yang akan dihubungkan dengan harness.

Ada dua kelompok tali yang dihubungkan dengan stabilizer, namanya brake atau tali kemudi. Ujung dari tali kemudi dinamakan togel. Di tangan tali kemudi ini kontrol gerak parasut dan rem difungsikan. Dan seorang penerbang harus paham betul bagian-bagian tadi.

Belum cukup itu, penerbang siswa pun harus mampu menaksir cuaca dan kecepatan angin. Menurut Gendon, kecepatan maksimum angin yang masih layak untuk terbang adalah 30 kilometer per jam. ”Tapi ini balik lagi ke masalah orangnya. Kalau saya sendiri sih nggak berani terbang kalau (kecepatan) angin sudah sampai segitu (30 kpj). Kalau masih 25 kpj ya masih bolehlah. Masalah lainnya, (bila angin kencang) kita juga harus dibantu orang lain.” (str/bayu dwi mardana)

Sinar Harapan 2002

Biaya Mahal, Kompetisi Paralayang Sepi Peminat Lokal

Bola.net - Sejumlah peserta kompetisi paralayang internasional atau Paragliding Accuracy World Cup (PGAWC) seri pertama di Kota Batu, Jawa Timur, mengeluhkan mahalnya biaya pendaftaran kompetisi tersebut.

Salah satu peserta asal Semarang, Dikma, Kamis, mengatakan, pada kompetisi internasional sebelumnya biaya pendaftaran hanya sekitar Rp 700 ribu atau berkisar 50 euro, sedangkan untuk kompetisi lokal hanya sekitar Rp250 ribu.

Namun, untuk kompetisi seri pertama tahun 2010, biaya pendaftarannya mencapai Rp2.300.000 per peserta.

Ia memperkirakan, minimnya peserta lokal atau atlet Indonesia dalam kompetisi paralayang internasional ini, salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya pendaftaran tersebut.

"Mungkin karena mahalnya biaya pendaftaran ini banyak atlet paralayang nasional yang absen," katanya.

Sementara itu, salah satu panitia, Putol, mengatakan, biaya pendaftaran dalam ajang ini telah disesuaikan dengan kebutuhan kompetisi, sebab biaya yang dihitung panitia dijadikan satu dengan biaya akomodasi lainnya, seperti halnya hotel dan transportasi.

"Saya kira biaya pendaftarannya tidak mahal, sebab fasilitas yang diberikan oleh panitia kepada peserta juga sebanding," ujarnya.

Sementara dalam kompetisi paralayang internasional ini, sejumlah peserta dari 15 negara pada Kamis (3/6) sudah memulai aktivitasnya mencoba landingpendaratan paralayang yang berlokasi di kawasan wisata Songgoriti.

Usai melakukan percobaan, direncanakan Jumat (4/6) panitia akan memulai penilaian terhadap setiap peserta.

"Jika besok cuaca tidak mendukung, panitia akan menggunakan penilaian landing pada hari ini, sehingga peserta harus tetap serius ketika melakukan uji coba lapangan pendaratan," katanya.

(ant/row)