SAFETY IN THE AIR STARTS ON THE GROUND

Selasa, 25 Mei 2010

Cara Mudah Mewujudkan Impian Terbang


Lepas landas dari lereng bukit, lalu melesat ke angkasa bebas. Berputar-putar seperti burung Elang, mengejar thermal. lalu ribuan meter tinggi, dan ratusan kilometer pun dijangkaunya. Padahal terbangnya hanya dengan memanfaatkan angin. Inilah olahraga paralayang atau paragliding, cara termudah bagi mereka yang memimpikan terbang bebas.

Menunggu Cuaca
Meskipun cuaca mendung dan sering turun hujan dan kabut di Kawasan Perkebunan Teh Gunung Mas, Puncak, Bogor, tak menyurutkan niat para “penunggang angin” yang ingin melepaskan hasratnya untuk terbang. Sudah sejak pagi mereka setia menunggu kesempatan terbang. “Wah kabutnya kok tebal banget, gak bisa terbang nih?” keluh salah seorang penerbang paralayang di atas Bukit 250 yang jadi lokasi lepas landas.
Dalam cuaca tak menentu pada musim hujan seperti sekarang ini, memang diperlukan kesabaran ekstra bagi para penerbang paralayang. Jika cuaca lagi tak bersahabat, bisa berjam-jam mereka harus menunggu cuaca ideal. Bahkan kadang-kadang setelah seharian menunggu, terpaksa pulang kembali ke rumah dengan log book terbang yang kosong karena gagal terbang. Sedikit rasa kecewa. Tetapi itu tak menjadi soal, karena masih ada hari esok! Para penerbang paralayang memang mempunyai prinsip lebih baik tidak terbang hari ini, dari pada memaksakan terbang hari ini, tetapi esok tak dapat terbang lagi!
Namun ceritanya akan jauh berbeda jika cuaca berubah cerah dengan hembusan angin yang ideal dari arah depan lereng. Dalam waktu singkat saja puluhan parasut warna-warni mengangkasa dan lalu lalang menghiasai langit di atas perkebunan teh. Inilah pemandangan yang hampir selalu dijumpai di akhir minggu, yang menimbulkan iri sekaligus decak kagum para wisatawan.
“Wah asyik banget tuh, bisa terbang seperti burung Elang,” ujar salah satu wisatawan yang berkunjung di kawasan Puncak. Kadang-kadang justru keheranan pun muncul dari mulut para pelancong yang baru pertama kali melihat paralayang. “Lho ada yang terjun payung, tetapi kok tidak terdengar suara pesawatnya?”
Olahraga paralayang memang mirip dengan olahraga terjun payung. Dua-duanya sama-sama menggunakan parasut, namun sebenarnya filosofi dua olahraga dirgantara yang berada di bawah naungan Federasi Aerosport Indonesia ini sangat jauh berbeda. Bagi peterjun payung, parasut yang digunakan lebih berfungsi sebagai alat penyelamat peterjun agar mendarat empuk saat menapaki bumi setelah jatuh bebas atau free fall. Sedang bagi penerbang paralayang, parasut yang digunakan meski pun tak bermesin namun mampu membawa penerbangnya terbang tinggi dan jauh - asal tahu saja, rekor dunia terbang jauh paralayang adalah sejauh 350 km.
Cara mengembangkan parasutnya pun berbeda, peterjun payung melompat dulu dari pesawat terbang baru mencabut parasutnya, sedang penerbang paralayang mengembangkan parasutnya ketika masih menginjak tanah di sebuah lereng bukit. “Gampang kok caranya, yang penting tekniknya benar,” celetuk David Teak.

Lereng dan Angin.
Konsep terbang Paralayang sangat sederhana tetapi mengagumkan, terbuat dari lembaran kain nylon yang dibentuk seperti sayap atau aerofoil yang dihubungkan oleh tali-tali untuk sebagai cantolan tempat duduk penerbang (seat harness). Dengan adanya gerakan saat melintasi di udara bebas maka lembaran kain tersebut menggembung menciptakan tekanan dan membentuk sayap yang akhirnya dapat diterbangkan.
Parasut paralayang adalah sebuah “pesawat terbang” yang melayang menggunakan prinsip-prinsip aerodinamika seperti halnya pesawat Boing yang berpenumpang ratusan orang itu. Bedanya penumpang paralayang sangat terbatas hanya satu atau dua orang saja. Kecepatan terbang tertingginya juga paling-paling hanya sekitar 50 km/jam. Paralayang juga merupakan pesawat berpenumpang paling ringan di dunia, kalau komplit berat lengkapnya hanya sekitar 8 s/d 15 kg. Karena saking ringan dan ringkasnya, pesawat ini sangat mudah di lipat dan digulung kemudian dimasukan ke dalam ransel. Siap digendong ke mana pun suka.
Untuk dapat lepas landas, seorang penerbang paralayang memerlukan sebuah lereng bukit yang rata dengan kemiringan sekitar 20 - 30 derajat, atau jika tak ada lereng, ditarik dengan mesin Winch di lapangan terbuka pun bisa.
Kecepatan angin ideal yang dibutuhkan sekitar 10 s/d 20 km jam. “Arah angin harus datang dari depan lereng. Kalau kecepatannya terlalu pelan paling hanya terbang meluncur, tetapi kalau terlalu kencang parasut tak bisa maju, malah-malah mundur karena terbawa angin,” jelas Lilik Darmono salah satu penerbang senior asal Magelang itu.
Peoses terbangnya sederhana. Sebelum terbang, parasut digelar dengan mulut-mulut sel (leading edge) menghadap angin dan sisi belakang (trailing edge) lebih dekat ke bibir lereng. Lembaran kain parasut, tali-tali, serta harnesnya lalu diperiksa, agar yakin bahwa perlengkapan terbang itu sudah betul-betul oke. Parasut sobek, tali kusut, atau karabiner bermasalah bisa berabe ! Masalah yang kecil di darat, bisa menjadi petaka sesaat setelah melayang di udara. Karenanya, pemeriksaan sebelum terbang atau pre flight check ini harus selalu dilakukan setiap saat oleh penerbang.
Proses berikutnya, penerbang pun bersiap-siap setelah helmet dan harness dipakai. Masing-masing tangan memegang tali kemudi dan riser depan, sementara riser tengah dan belakang dibiarkan menggantung di atas siku. Saat angin berhembus penerbang pun kemudian melangkah maju sambil menarik dan mengangkat riser yang dipeganngya. Dengan adanya sedikit hentakkan ini, parasut mulai terangkat, sel-selnya yang menganga itu langsung menelan angin, dan akhirnya mengembang sempurna di atas kepala.
Setelah parasut mengembang sempurna dan yakin tak ada yang kusut, penerbang meneruskan larinya ke arah bibir lereng. Dengan adanya gerak maju dan adanya hembusan angin yang menghantam lereng, parasut kemudian terangkat dan membawa penerbangnya meluncur ke angkasa. Kecepatan angin dan Kemampuan mengendalikan parasut, merupakan kombinasi yang sangat menentukan apakah penerbang akan tetap terus melayang atau harus siap-siap mendarat.
Terdapat dua sumber angin naik yang dapat dimanfaatkan penerbang paralayang agar dapat terbang tinggi dan jauh yaitu naikan dinamik (dynamic lift) dan naikan thermal (thermal lift). Naikan dinamik adalah angin yang naik karena menabrak lereng bukit, semakin kencang angin yang datang semakin besar pula kekuatan angin naiknya. Sedang naikan thermal adalah angin naik atau gelembung udara naik karenanya adanya pemanasan permukaan bumi oleh Matahari.
Sumber-sumber ini biasanya dijumpai di permukaan yang kering seperti ladang, lapangan, jalanan, dan perumahan, karena permukaan bumi ini gampang terpanaskan. Tanpa dua sumber ini tak mungkin seorang penerbang paralayang dapat bertahan lama terbang di angkasa bebas. Penerbang paralayang harus dapat membaca medan terbangnya yang berupa perbukitan. Saat ada angin naik, di sisi lainnya terdapat angin putar atau yang biasa disebut rotor atau turbulensi. Di situlah penerbang harus waspada jangan sampai ditelan rotor atau angin putar itu.
Melayang memang asyik, bumi yang indah jadi lebih indah saat dilihat dari ketinggian. Tetapi keasyikkan ini tentu saja tak membuat lupa bahwa penerbang pun harus mendarat di tempat yang aman setelah terbang berjam-jam. Lapangan terbuka yang bebas dari pepohonan tinggi dan rintangan lainnya merupakan lokasi pendaratan paling aman.

Terbang Mengasyikan !
Apa sih asyiknya terbang dengan paralayang? Pertanyaan sederhana tetapi jawabannya bisa bermacam-macam, seperti yang diungkapkan Dimas Bayu (16 th). “Seneng aja. Saat melayang-layang di angkasa itulah yang paling mengasyikkan, aku bisa terbang seperti burung. Ada kesunyian yang berbeda yang aku rasakan,” ungkap siswa kelas 1 SMA Dwi Warna Parung yang baru mengantongi 20 kali terbang itu.
“Buat saya yang paling nikmat adalah saat menjelang lepas landas, begitu kaki lepas dari tanah kita seperti masuk ke kehidupan lain. Begitu juga saat mendarat empuk setelah melayang-layang, rasanya plong. “ Cerita Etey seorang karyawati bank swasta yang empat bulan ini rajin wara-wiri ke Puncak untuk menikmati paralayang.
Tetapi lain lagi perasaan yang diungkapkan Ade Satari salah seorang atlet paralayang dari DKI Jakaara, ”Rasanya puas saat bisa mengejar thermal dan terbang setinggi mungkin, apalagi dapat terbang jauh atau cross country dan mendarat berpuluh-puluh kilo meter dari titik awal penerbangan.”
Menurut Hertriono Kartowisastro, Ketua Pordirga Layang Gantung Indonesia PB FASI, olahraga paralayang adalah olahraga dirgantara yang mempunyai tantangan tak terbatas. Ketergantungan dengan wahana lain juga sangat kecil. “Paling murah dan sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi wisata dirgantara, mengingat hampir semua tempat terbang paralayang merupakan lokasi wisata,” ungkapnya.
“Bagi yang sekadar ingin berekreasi, paralayang merupakan sarana pelepas ketegangan rutin yang cukup menantang, tetapi bagi yang ingin mengejar prestasi kesempatannya masih terbuka luas, apalagi olahraga ini sudah dipertandingkan dalam PON XV yang lalu,” lanjut Hertriono yang pernah mencoba segala olahraga dirgantara tersebut.

Siapa Saja Boleh Terbang?
Olahraga paralayang adalah olahraga dirgantara yang sangat mudah dan cepat untuk dipelajari. Alat yang digunakan juga sangat minimal, tak ada instrumen yang khusus dipelajari sebelum terbang. Perlengkapan utamanya terdiri dari parasut paralayang, seat harness, dan helmet. Perlengkapan lainnya antara lain sarung tangan, baju terbang, radio komunikasi, dan variometer.
Saat awal belajar tak perlu harus mempunyai alat-alat tersebut terlebih dahulu, karena biasanya sekolah atau klub pendidikan paralayang sudah menyediakannya untuk para peminat. Tentu saja ada dengan merogoh kantong untuk mengganti biaya penyusutan perlengkapannya.
Keasyikkan pasti, keamanan dan kenyamanan juga sangat penting. Di samping keberanian setiap penerbang juga harus memahami dan melaksanakan prosedur keselamatan. Ada tiga hal pokok yang harus dipahami oleh setiap penerbang agar dapat terbang dengan aman, yaitu: cuaca (angin dan awan), penggunaan perlengkapan, dan tingkat kemampuan penerbang.
Siapa saja yang dapat terbang? Siapa saja, lelaki atau perempuan. Umur tak menjadi masalah asal berkisar 14 s/d 60 tahun. Biasanya remaja yang belum berusia 18 harus berbekal ijin orang tua. Sehat jasmani dan rohani, tidak sedang mengidap penyakit jantung, epilepsy, atau ketidakmampuan fisik lainya. Berat tubuh minimal 50 kg, jika kurang dari 50 kg biasanya perlu beban tambahan. Untuk menjadi seorang penerbang paralayang tak harus menjadi seorang atlet yang kuat secara fisik. Namun pada awal latihan, memang diperlukan tenaga ekstra untuk naik dan turun bukit. Bagaimana akan menikmati terbang kalau kondisi badan tidak fit?

Awal Perkembangan
Olahraga paralayang mulai muncul pada awal tahun 80-an. Tidak jelas siapa yang mengawalinya. Namun proses terciptanya paralayang ini melewati sebuah proses yang cukup panjang dan diilhami oleh kegiatan gantolle dan terjun payung. Adalah Dr. Francis Rogallo yang pada tahun 1940 menciptakan sebuah layang-layang yang bentuknya kemudian menjadi cikal bakal gantolle yang sekarang ini ada.
Pierre Lemoigne termasuk orang yang punya andil, karena pada tahun 1960, ia menyempurnakan kembali bentuk parasut untuk terjun statik yang berbentuk bulat, menjadi parasut terjun yang dikenal sebagai parasut Para Commander (PC) yang mempunyai gerakan lebih baik dan dapat dikontrol dibanding parasut sebelumnya.
Kemajuan pesat terjadi saat terciptanya parasut terjun payung persegi dengan dua permukaan yang masing-masing dipisahkan oleh rongga-rongga yang disebut sel oleh Domina Jalbert dari Amerika. Parasut ciptaan Domina ini dikenal dengan nama Parafoil menggunakan sistem “Ram Air”. Parasut ini mengembang karena adanya lintasa udara yang terperangkap di dalam sel. Konsep “Ram Air” ini sebenarnya tak mengalami perubahan berarti hingga kini, namun tingkat penyempurnaan bentuknya begitu menakjubkan, sehingga bisa dibilang konsep inilah yang mengilhami secara langsung terciptanya olahraga paralayang.
Pada tahun 1978, beberapa peterjun Eropa mencatat sukses lepas landas dari sebuh lereng terjal menggunakan parasut yang disempurnakan ini. Tak lama kemudian peski Swiss menyusul dengan meluncur di lereng bersalju di Engadine dengan menggunakan parasut persegi yang serupa.
Berawal dari sinilah nampaknya olahraga paralayang yang di Perancis disebut Parapente. Selain nama-nama yang disebut sebelumnya, tiga anggota Parachute Club of Annemasse, Perancis, bisa dibilang mempunyai andil dalam pemasyarakatan olahraga paralayang Mieussy, di kawasan Pegunungan Pertuiset, antara Genevv dan Chamonix yaitu: Jean-Claude Betemps, Andre Bohn, dan Gerard Boson.
D Indonesia sendiri, paralayang baru mulai muncul awal tahun 1990 yang ditandai dengan terbentuknya Kelompok Paralayang MERAPI di Yogyakarta yang dimotori oleh Dudy Arief Wahyudi (alm), dan penulis. David A. Teak, Ferry Maskun, dan Daweris Taher termasuk para penerbang awal Indonesia. Beberapa pemula ini berlatih secara otodidak melalui manual-manual dan majalah-majalah paralayang. Setidaknya pernah tercatat sebanyak 1200 penerbang di Indonesia, namun yang kini aktif tak lebih dari sepertiganya.
Olahraga paralayang di Indonesia berada di bawah Pordirga Layang Gantung Indonesia (PLGI) yang berada dibawah naungan PB FASI. Sedang untuk organisasi internasionalnya, olahraga ini berada dibawah Commission Internationale du Vol Libre (CIVL) yang dibawah naungan FAI.
Tiga belas tahun sudah usia perkembangan olahraga paralayang di Indonesia. Grafik peminatnya makin naik dari hari ke hari meskipun perlahan. Melihat besarnya potensi yang dimiliki olahraga ini, optimis bahwa olahraga ini akan makin berkembang. Keasyikan dan tantangannya yang tak terbatas menjadi alasan kuat. Berani menerima tantangannya? Ayo bergabung dengan para “penunggang angin” lainnya, untuk mewujudkan impian terbang yang mengasyikkan! (Gendon Subandono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar