SAFETY IN THE AIR STARTS ON THE GROUND

Selasa, 25 Mei 2010

Sejarah Paralayang Indonesia Bermula dari Kaum Pendaki

Geliat dunia paralayang Indonesia boleh dibilang tak bisa dilepaskan dari kiprah para pendaki gunung. Keinginan turun dengan cepat setelah puas melahap sejuta tanjakan dalam pendakian ternyata melahirkan bentuk petualangan lain. Sebuah mainan baru pemacu adrenalin dalam tubuh. Sensasi yang dihasilkan pun tak kalah mengasyikkan.
”Tahun-tahun awal perkembangan paralayang di negara kita memang didominasi oleh pendaki gunung. Sebab, mereka suka naik gunung tapi kepengennya cepat turun. Ya, kalau mau cepat harus pakai parasut (terbang) ‘kan,” ujar Gendon Subandon, salah seorang pencetus paralayang di Indonesia. Itu sebabnya, pada awal kelahirannya di Indonesia, paralayang populer dengan sebutan terjun gunung.
Bersama Alm. Dudi Arief Wahyudi, Gendon mendirikan kelompok terjun gunung Merapi di Yogyakarta pada Januari 1990. ”Karena mainan baru, waktu itu kelompok ini baru ada dua anggotanya. Saya dan (alm) Dudy itu,” kata Gendon melanjutkan kisah. Mereka pun belajar dan latihan secara mandiri. Buku, majalah dan manual parasut jadi ”santapan” sehari-hari. ”Wah, dulu itu nggak ada yang namanya instruktur. Kami belajar dari buku, majalah dan manual parasut saja. Apalagi saat itu Internet belum ada, pokoknya betul-betul dari nol.”
Selama tiga bulan, kedua tokoh paralayang ini giat berlatih. Dari teknik mengembangkan parasut, latihan terjun sampai cara mengendalikannya di angkasa. Medan latihan pun berpindah-pindah, kadang di kampus atau bukit-bukit pasir Parangtritis. ”Waktu terbang perdana, kami pinjam payung milik Lody (Korua, pemilik operator wisata arung jeram di Sungai Citarik –Red.). Tipenya Drakkar produksi Parachute de France tahun 1987. Termasuk payung untuk pemulalah,” kenang Gendon sambil tersenyum.
Setahun kemudian, terjun gunung mulai dilirik para petualang lainnya. Nama-nama beken seperti Wien Soehardjo, Bismo, Daweris Taher dan Ferry Maskun mulai meramaikan panggung dunia pembangkit adrenalin ini. Dua nama awal adalah pendaki dan pemanjat asal klub Skienege sedang sisanya penerbang gantolle. ”Sebelumnya, David A. Teak juga telah aktif terbang dengan paralayang,” ungkap Gendon.
Pada tahun 1992, komunitas paralayang bertambah banyak. Tapi sayangnya pertumbuhan bagus itu tak diiringi dengan ketersediaan alat. Tercatat hanya ada lima buah parasut sampai akhir tahun 1992. Agar teroganisir rapi, para penerbang ini sepakat membentuk wadah berskala nasional, Pusat Paralayang Indonesia (PPI).
Di tahun-tahun berikut, paralayang makin mendapat tempat di hati petualang lokal. ”Karena berkesan seram, kami berpikir untuk mengganti sebutan terjun gunung untuk olahraga ini. Kok kalau disebut terjun gunung, seolah-olah kita melompat dari gunung begitu saja tanpa bekal apa-apa. Setelah rembukan dengan teman-teman, pada 23 Mei 1993 istilah paralayang resmi dibakukan untuk mengganti nama sebelumnya itu,” tutur Gendon. Peresmian nama itu dilakukan di Gunung Haruman, Jawa Barat.

Dipertandingkan
Perkembangan paling pesat terjadi pada periode 1993 hingga 1996. Alat bertambah banyak, penerbangnya juga terus bertambah. Mereka tak lagi terbatas pada kaum pendaki saja, tapi melebar ke berbagai kalangan alias umum. Kegiatan yang dijalankan mulai teratur. Pada tahun 1994, paralayang secara resmi masuk ke dalam pembinaan PB FASI (Federasi Aero Sport Indonesia) di bawah naungan Pusat Gantolle Indonesia. Masih di tahun yang sama, diadakan eksibisi ketepatan mendarat paralayang pertama di Puncak, Bogor, pada bulan April. Ada 20 penerbang dari Jakarta, Bogor, dan Yogyakarta yang mengikuti acara ini.
”Walau sudah masuk pembinaan FASI, kami belum resmi masuk ke dalam tubuh organisasi ini. Sebab belum disahkan melalui munas (musyawarah nasional),” ujar Gendon yang sempat tiga kali gagal terbang dari puncak Gunung Merapi, Yogyakarta. Lewat Munas V PB FASI pada tahun 1996 di Lembang, Bandung, paralayang resmi menjadi bidang tersendiri yang kedudukannya sejajar dengan gantolle di bawah Pusat Layang Gantung Indonesia (PLGI).
Saat PON XV tahun 2000 di Jawa Timur digelar, paralayang telah dinyatakan sebagai salah satu mata lomba yang dipertandingkan. Ada empat medali emas yang disediakan. Peserta yang ikut sebanyak 32 atlet dari delapan kontingen.
Karena makin populer, banyak akses ke lokasi peluncuran paralayang tak lagi harus ditempuh dengan jalan kaki atau bersusah payah mendaki sebuah gunung. Sebut saja, Kampung Toga di Sumedang, Wonogiri dan Parangtritis.
Kenikmatan yang dicari sedikit banyak telah bergeser dari sensasi mendaki gunung lalu terbang dari puncaknya menjadi hobi terbang saja. Peminat terbang dari puncak gunung memang agak kendor. Kisah-kisah petualangan tenggelam dengan kesibukan mengejar prestasi. Boleh jadi itu imbas dari kepopuleran tadi.
Soal itu, Gendon mengaku tak khawatir. ”Ya, nggak jadi masalah. Kalau dia (penerbang -Red) memang serius berlatih dan bercita-cita menjadi atlet, kenapa harus dihalang-halangi? Bagi yang hanya ingin sekadar hobi, kami juga ada wadahnya. Ekspedisi terbang ke gunung juga masih dilakukan. Beberapa waktu lalu, kami sempat terbang dari lereng Gunung Guntur di Garut,” tuturnya. (str/bayu dwi mardana)

Copyright © Sinar Harapan 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar